Ilusi Semata

Ini semua seperti sebuah pagi yang mendung. Sa waswas. Sa punya agenda kencan dengan seseorang, berjalan kaki berdua, mengitari sebuah taman dengan pepohonan yang besar, di sore hari. Lalu ketika matahari naik, awan pecah berhamburan, cahaya matahari menghampar ke tanah. Semua berkilau, dan hatiku ikut berkilau. Ahk, sore yang cerah sedang menantiku. Tapi ketika siang mulai turun, mendung seperti dipanggil kembali. Pelan tapi pasti, dong berkumpul, memadat, seperti hendak mempersiapkan sebuah pemberontakan kepada bumi, deng mengirimi berjuta-juta pasukan air.

Kembali rasa waswas mengguncang. Tapi mendung mendadak seperti malas. Langit cepat berganti muka. Kadang kelam, kadang bersinar, kadang pucat. Dan dalam rangka menentramkan hati, sa berkata pada diri sendiri ; alangkah enaknya berkencan dengan jalan kaki, di sebuah taman dengan pepohonannya yang tinggi, dengan dipayungi cahaya sore yang kadang mendung, menelisip dinding yang mungkin bisa membuat romantis keadaan.

Dan benar. Hujan tak juga turun, gerimis belum rontok. Lalu kutinggalkan payung di depan rumah, mantap berjalan kaki tanpa usaha melindungi diri dari kemungkinan hujan yang mengguyur. Udara terasa ringan. Dingin yang menelisip membuat perempuan yang nanti berjalan di samping sa akan semakin terlihat menentramkan. Tapi ketika beberapa puluh langkah telah dibuat menjadi jarak antara sa pu tubuh dan pintu rumah, hujan turun deng deras tanpa aba-aba, tra memberi sinyal. Tubuh kuyup oleh air, juga umpatan.

Dan sa pun kaget dari tidur nyenyak, ahk sittt. Mana kopi, kopi mana.

Keterangan : 1. Sa = saya 2. Deng = Dengan 3. Dong = Mereka 4. Tra = Tidak. Menggunakan bahasa atau dialeg orang Papua.