Perihal Waktu


Pekerjaan di dalam dunia yakni “relawan” untuk kemanusiaan, jadi relawan bukan karena ada kesempatan, tetapi kita lah mencari kesempatan, bukan dilakukan pada waktu luang, tetapi meluangkan waktu untuk menjadi relawan.

Aku tak tahu mengapa aku ingin melakukannya,
tapi aku mau disanalah tempatmu,
dikepung oleh kaumku, kesunyian, korban, peyimpangan dan orang tak berpendidikan,
tempat yang orang banyak tak perhatikan,
Aku ingin bertemu kamu agar bersama bisa dengan senang hati menjalankan tugas mulia.

Ini bukan ketiga kalinya aku kembali memikirkanmu,
Aku ingin melihat wajah dan mendengar suaramu,
Lalu kita menguping keresahan orang-orang,
duduk tukar cerita,
Aku tahu itu tak akan terjadi kau meninggalkanku,
Aku tak bisa merebutmu,
Aku pindah dan selalu membayangkanmu,
Suatu kutukan.

Ku rasa ini hanyalah masalah waktu,
Aku tak tahu mengapa aku menulis ini,
Aku tak tahu apa yang akan terjadi,
Aku tahu aku tak bisa merebutmu kembali,
Aku tak tahu sebabnya tapi ini sungguh terjadi,
Aku merasa, akulah penyebabnya
kemalangan, racun dan kebimbangan,
selalu datang merasuki pikiranku,
Aku mulai berhenti melakukan hal baik di Dunia ini.

Tanpamu, kan ku usahakan sekali lagi tuk memasuki pekerjaan lain,
Ke dalam pekerjaan terakhir yang kupilih.
Dan mati hari ini. Hidup dan mati hari ini.

Ilusi Semata

Ini semua seperti sebuah pagi yang mendung. Sa waswas. Sa punya agenda kencan dengan seseorang, berjalan kaki berdua, mengitari sebuah taman dengan pepohonan yang besar, di sore hari. Lalu ketika matahari naik, awan pecah berhamburan, cahaya matahari menghampar ke tanah. Semua berkilau, dan hatiku ikut berkilau. Ahk, sore yang cerah sedang menantiku. Tapi ketika siang mulai turun, mendung seperti dipanggil kembali. Pelan tapi pasti, dong berkumpul, memadat, seperti hendak mempersiapkan sebuah pemberontakan kepada bumi, deng mengirimi berjuta-juta pasukan air.

Kembali rasa waswas mengguncang. Tapi mendung mendadak seperti malas. Langit cepat berganti muka. Kadang kelam, kadang bersinar, kadang pucat. Dan dalam rangka menentramkan hati, sa berkata pada diri sendiri ; alangkah enaknya berkencan dengan jalan kaki, di sebuah taman dengan pepohonannya yang tinggi, dengan dipayungi cahaya sore yang kadang mendung, menelisip dinding yang mungkin bisa membuat romantis keadaan.

Dan benar. Hujan tak juga turun, gerimis belum rontok. Lalu kutinggalkan payung di depan rumah, mantap berjalan kaki tanpa usaha melindungi diri dari kemungkinan hujan yang mengguyur. Udara terasa ringan. Dingin yang menelisip membuat perempuan yang nanti berjalan di samping sa akan semakin terlihat menentramkan. Tapi ketika beberapa puluh langkah telah dibuat menjadi jarak antara sa pu tubuh dan pintu rumah, hujan turun deng deras tanpa aba-aba, tra memberi sinyal. Tubuh kuyup oleh air, juga umpatan.

Dan sa pun kaget dari tidur nyenyak, ahk sittt. Mana kopi, kopi mana.

Keterangan : 1. Sa = saya 2. Deng = Dengan 3. Dong = Mereka 4. Tra = Tidak. Menggunakan bahasa atau dialeg orang Papua.

Merdeka atau Tidak Tetap ada Luka

Kala itu, tepat hari ini tanggal enam belas dua tahun lalu. Keadaan sedang tidak baik baik, mata saya sakit sebab empat hari sebelumnya saya berkunjung di rumah atau home stay di Waghete, pemiliknya saudara atau mamade saya. Saya yang suka bermain dengan kanak kanak ketika melihat ponakan saya yang sedang bermain saya pun mulai ikut bermain bersama sama lalu mengajaknya belajar menulis abjad, kemudian tak salah ponakan saya mengerakkan tangan yang sedang memegang pensil ke arah mata saya akibatnya mata saya mulai terasa sakit dan tertutup, susah tuk berkedip, lumayan lama pulihnya. Nah dalam keadaan begitu, ayah saya mengajak saya untuk berangkat ke Wadouw/Deiyai, entah mengapa padahal ayah saya pun masih dalam kondisi fisik yang lemah sebab lagi kelelahan akibat sakit perut.

Tak lama kemudian mobil lintas parkir di depan rumah. Setelah ayah memanggilnya di terminal Pasar karang, sekitar pukul 21.23 WIP. Saya lalu siapkan beberapa pakaian penghangat lalu menaiki mobil, selepas dari Wodio Nabire saya pun mulai terlelap berusaha tuk berjumpa mimpi namun tak bertemu ehehe. Dalam perjalanan saya tidak menyadarkan diri, entah di kilo berapa saya terkaget karena mobil tetiba rem mendadak, mata yang masih sakit itu ketika melihat apa penyebabnya, mata sayapun menyala tanpa ada rasa sakit. Saat itu pula saya pertama kali dalam perjalanan melihat ular besar menyeberangi saban jalan, dan saya sadar mulai mengingat perkataan orang-orang sebagai penanda sesuatu.

Saya agak susah tidur memikirkan hal yang baru saja terjadi itu. Mata menyala pikiran berputar-putar, daripada pikir panjang saya lalu mengajak mata untuk pergi pada pulau mimpi. Syukur hujan deras turun, dan derasnya menemani perjalanan panjang.

Singgah di kilo 100, namun saya memilih tuk berbaring di dalam mobil, walau perut merontak meminta di isi. Lumayan lama kami singgah, ayah saya menawarkan saya untuk turun makan, tapi saya mengatakan tidak karena sudah terlanjur betah. Bukan karena mata sakit. Mata yang sakit itu, rasa rasanya sudah di bawa oleh ular ke alamnya.


Saat itu, kami tiba di Deiyai pada subuh hari pukul 01.37 WIP untung baik saya masih ingat betul jam berangkat dan jam tiba. Pintu pagar terkunci dari luar, dan itu tidak seperti biasa. Soalnya di rumah ada nene manao (orang bisu) yang menjaga rumah dan tanpa di suruh ia akan membuka pagar. Ayah bilang pada saya, ini tidak seperti biasa jadi kita panjat pagar saja. Tanpa bicara saya lalu memasukkan beberapa barang yang berat dengan perlahan melalui celah-celah pagar kawat. Kami pun masuk melalui pintu belakang (Dapur) gelap saat itu pemadaman terjadi, maka saya mulai nyalakan senter pada handphone. Ketika mengarahkan senter pada tempat dimana nene sering tidur lalu lihat nokennya macam di ombrak ambrik, sekedar itu ayah suruh masuk dalam kamar lalu berdoa sebelum tidur. Ayah saya masih gelisah nampaknya ia tidak tenang. Entah mengapa, ia tidur atau tidak saya tidak tahu, sayapun langsung terlelap pulas.

Pagi-pagi benar pada bulan Agustus tanggal 17 pas hari kemerdekaan di Tahun 2018, entah jam berapa ayah saya sudah deluan bangun. Hanya untuk mengecek apakah ada air hangat yang biasanya nene saya siapkan untuk mandi sebelum pergi ke kantor namun saat itu tidak ada di termos listrik, kemudian ayah mulai ke Dapur yang malam belum sempat kami lihat berhubung gelap, kemudian ia kaget ketika melihat nene sedang berbaring yang tidak seperti biasanya orang berbaring, nene terbaring terbalik wajah menghadap lantai kayu. Perlahan ayah mulai mendekatinya dan menyentuh sekalian membalikkan badannya, badan sudah terlanjur dingin dan di mulut ada Supermie, barang makanan yang tidak biasa nene saya konsumsi.

Ayah lalu membangunkan saya, dan menyampaikan kalau nene sedang baring di dapur dengan keadaan tidak bernafas. Dan beberapa hari itu, mama ade saya dan keluarga sedang mencari nene ke mana-mana. Namun tak menemukannya, dan mereka tidak cek di rumah sebab pintu pagar tertutup dari luar. Lalu ayah saya menyuruh saya pergi ke rumah sebelah rumahnya mama ade saya, katakan kalau nene ada di rumah, saya pun bilang hal yang sama pada mama ade.

Saya tidak bilang keadaan yang sebenarnya terjadi. Sesampainya dan melihat nene yang sedang terbaring itu, mama ade saya lalu menangis. Saat itulah tidak ada hari kemerdekaan bagi keluarga kami, yang ada hanya duka yang berlinan air mata, mengalahkan hujan pada waktu itu. Ada yang merayakan tapi tidak semua yang bahagia. Apakah kemerdekaan ini membawa kita pada kemerdekaan yang di rasakan untuk semua kalangan? Pertanyaan semacam ini tdak bagi saya, kala itu hingga sekarang.

Bukan hanya duka yang saat itu kami rasakan. Duka di Papua sini banyak, namun sayang tidak di muat dalam berita-berita, ada beberapa yang sudah bahkan publik telah mengetahuinya tapi sayang sudah ada kebenarannya namun banyak yang tak ditindak lanjuti. Seakan torang binatang, moyet moyet itu sudah yang mereka anggap untuk kita yang kulitnya hitam berambut keriting.

Merdeka ka jangan, jangan ka merdeka?