Generasi Papua Harus Terpanggil untuk Menulis

Oleh : Everd Scor Rider Daniel, S.IP
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, Universitas Padjadjaran, Bandung. Kolumnis Opini dan Sastra, Juga sebagai pengiat Literasi.

Kenapa kita seharusnya menulis? Jawabannya, karena kita sedang tidak nyaman dibuat oleh orang lain. Menulis dalam maksud sederhana “mencoba sadar untuk menyoal ketidakadilan”.
Apa wujud ketidakadilan: kalau bicara tidak adil, mungkin Papua menjadi panggungnya. Kita belum jadi tuan di tanah sendiri.
Kebun kami punya, tapi kami cuma jaga. Mereka di Senayan yang sebenarnya tuan atas kebun-kebun kami.
Laut, gunung, jadi kurus karena aturan yang mereka tandatangan di Senayan. Kami hanya merenung, dengan tubuh yang hampir habis karena kelaparan. Kami pikir tidak adil, karena kami yang punya kebun, tapi kami kelaparan, tidak pergi sekolah.
Laut yang dulu sudah berubah, karena sekarang mau dengar ombak kami disuruh bayar. Kami bayar karena disuruh mereka tuan-tuan luar negeri. Kami takut, karena keringat kami diambil orang.
Takut kami bekerja untuk perut orang lain.
Kebun di belakang rumah, hampir habis, karena mereka di Ibukota sana, terlalu banyak tandatangan supaya kasih jalan orang dari luar negeri menjajah kembali sumber daya kami.
Tanah kami semakin kurus, perut mereka semakin gemuk.
Itu bentuk kecemasan dari ketidakadilan, karena takut besok kebun di belakang rumah sudah ganti pemilik. Bukan lagi kami.
*
Jalan kita hari ini adalah kesadaran. Segalanya mungkin sudah diambil, tapi ada satu yang tidak bisa dicuri, yaitu ingatan.
Meminjam kata Jurgen Habermas “segalanya bisa diambil penguasa, tapi penguasa tidak bisa mengambil kebebasan berpikir”.
Revolusi berpikir tidak pernah istirahat, karena mungkin kenyataan jarang menyimpan keadilan.
Kita punya ingatan, jadi kita harus menulis.
Generasi Papua harus sadar, jangan merasa nyaman dalam ketidaknyamanan, merasa bebas dalam ketidakbebasan. Karena situasi sebenarnya sedang tidak nyaman.
Bagaimana kita menyadarkan diri dan saudara lain, untuk melawan penjajahan akal sehat yang mereka buat di Senayan sana.
Melawan perubahan tidak harus lagi melulu pada fisik. Revolusi melawan penjajah dengan fisik mungkin sudah jadi sejarah. Tapi hari ini, yang harus kita sadari, adalah penjajahan akal.
Supaya kepala kita tidak dijajah, jalan melawan itu adalah merawat kesadaran dalam ingatan kita lewat MENULIS.

Hari ini, generasi Papua harus berani tampil di media, harus punya nyali menulis. Karena panggung bersuara bukan dicari tapi kita ciptakan sendiri.
Bentuk membela kesadaran hari ini adalah melewati suatu perjuangan ide. Manusia dikatakan sadar kalau dia masih mampu membela akal sehat dan melawan ketidakwajaran. Supaya kita tidak terus dibuat lapar oleh orang-orang kota.
Panggung pertempuran manusia modern tidak lagi di hutan atau laut, tapi pangggung adalah kepala kita. Agak benar, kalau berpikir bahwa, satu tulisan bisa menembus jutaan kepala. Tapi satu peluru, hanya bisa menjatuhkan satu nyawa. Karena itu, menulis punya pengaruh besar, dan lebih santun merawat kesadaran untuk melawan penjajahan akal sehat.

Hari ini, kita ambil keputusan untuk bertempur dalam gagasan, menyuarakan ketidakadilan lewat tulisan.
Karena bertempur di jalanan sudah tidak lagi santun. Malah kita nantinya dituduh mencari perhatian, kurang kerjaan, bahkan distigma separatis.
Karena kalau hanya demonstrasi di jalanan, saya pikir, kita hanya membuang energi, suara-suara itu jadi sia-sia, dan seketika hilang dilindas asap kendaran. Lebih santun kalau ide kita dituliskan, karena dia akan lebih abadi dan mengundang orang untuk sadar dan memahami keadaan.
Mari menulis, karena kalau tidak menulis kita akan terus jadi objek dari wacana orang lain. Dan manusia tanpa menulis sama artinya manusia yang mengizinkan ingatannya untuk mati. Menulis supaya kita tetap sadar dan kemarau tidak singgah di kepala.

Bandung, 2017

Injil yang membebaskan

Peradaban di Papua tidak bisa terlepas dari sejarah perjalanan pekabaran Injil di Papua. 5 Februari 1855 pemuda muda asal Jerman Carl Willem Ottow dan Johann Gottlob Geissler tiba di pantai pasir putih Pulau Mansinam. Proses pekabaran Injil penuh dengan tantangan yang begitu berat. Suka dan duka dilaluinya. Pada akhirnya Ketabahan kedua penginjil ini berbuah manis.

Selain Injil, para misionaris (Ottow & Geissler dan yg datang sesudahnya) dari Eropa membuka sekolah-sekolah agar manusia Papua berpendidikan dan mengatur dirinya sendiri sesuai perkembangan zaman. Juga, selain sekolah dan Injil, mereka (misionaris) juga membuka pelayanan kesehatan yang baik dan sesuai dengan konteks budaya setempat.

Tak bisa dipungkiri bahwasanya pembangunan di Papua dimulai dari pekabaran Injil yg di mulai oleh dua misioanari tadi (Ottow dan Geissler). Karena mereka selain mengabarkan Injil, mereka juga mendidik orang-orang Papua dan menjalankan pelayanan kesehatan. Itulah definisi saya tentang “Injil yang membebaskan”, yaitu Injil yang memuaskan Rohani juga melengkapi kebutuhan jasmani agar hidup orang-orang Papua lengkap/utuh. Itulah pekabaran Injil mula-mula yang di Injilnya dikabarkan sesuai dengan kebutuhan orang-orang papua pada saat itu. Dan saya rasa itu adalah pekabaran Injil yg revolisioner.

Gereja Sekarang buat?

Apakah sekarang Gereja Missioner–Revolusioner? Tidak tau. Pokoknya tak bisa dipungkiri bahwa Gereja di Papua sudah banyak sekali. Terlalu banyak dan mempunyai misi masing-masing. Tapi kok anak-anak Jalanan yang seperti ayam yang tidak punya induk makin banyak, bukankah gereja ada untuk mengayomi, melindungi umat? Dan marah (berteriak/bersuara) ketika umatnya diperlakukan tidak adil? Pertanyaan-pertanyaan itu semua membuat saya teringat (terganggu) dengan tuduhan karl Marx bahwa Agama hanyalah “obat penenang” bagi rakyat. Mungkin mengganggu (atau merasa bodo?)

Gereja sekarang yang menurut saya hanya berfokus (terjebak) pada theologi kemakmuran telah gagal melihat masyarakat (umat) yang menjadi sebuah permainan sistem penguasa yang menindas umatnya. Adanya anak-anak jalanan: yang isap aibon, ganja, narkoba dll adalah sebuah hasil dari kesenjangan Ekonomi-politik bangsa ini. Bukan saja mereka melakukan hal-hal ini (isap aibon, ganja dll) adalah karena masalah jiwa dan rohani mereka semata. Oleh sebabnya Gereja sebagai institut yang membebaskan (sesuai amanat Injil) maka gereja harus melihat persoalan ini dari akarnya, yaitu dengan bersuara tegas mengambil langkah-langkah yang mungkin tidak netral seperti yang dilakukan oleh para imam-imam katolik di Amerika Latin di abad ke 20 yang dengan tegas melakukan perlawanan terhadap dosa sosial yg terdapat dalam sistem negara yang bobrok. Gereja mesti keluar dari zona nyaman dan mulai jelih dengan melihat realitas sosial.

Gereja itu dibumi, dan masih akan terus mengabarkan pemberitaan Injil. Karena Gereja itu dibumi maka gereja itu Rasional, dan tentulah akan terganganggu terus dengan pernyataan Karl Marx “Agama itu Candu Rakyat”
Selamat memperingati hari pekabaran Injil di tanah Papua yang ke 163.

TUHAN YESUS Memberkati kita sekalian

.