David Gallus OSC.
Sesudah hampir seperempat abad berkaya di Asmat, ia kembali ke Amerika Serikat. Dari negerinya, ia tetap giat mempromosikan suku Asmat dengan berbagai cara. Kini ia berkarya di kalangan suku indian di kawasan Minnesota, AS.
Nama david gallus Osc, sangat punya arti dalam kehidupan kru TV Amerika CBS (Columbia Broadcasting System) bernama collin Needles. Berkat jasa pastro gullus tersebut, Needles beserta rekan sekerjanya, gary feblowits, berhasil membuat sebuah film dokumenter berdurasi 30 menit berjudul A World Away.
Tak hanya itu, Needles amat terkesan dengan perjalanannya yang berlangsung tahun 1993 itu. Ia merasa di terbangkan ke suatu dunia lain yang sangat eksotik dan seakan tak berada pada masa sekarang ini. oleh karena itu, judul dari dokumenternya adalah A World Away , yang berlokasi di suatu tempat yang bernama Asmat, Provinsi Papua.
Itu bukan kali pertama pastor gullus membawa rombongan-rombongan dari negerinya, Amerika serikat, ke Asmat. Tiap rombongan rata-rata tinggal selama dua pekan di Asmat. Dan yang berhasil di ajaknya bukanlah orang-orang sembarangan. Ia pernah mengajak Cargil Macmillan, pemilik perusahaan agrobisnis terbesar di AS, Cargil Company, dan juga miliuner asal Minneapolis, Topsy Simonson.
Bagi pastor gullus, itu merupakan usaha untuk memperkenalkan kehidupan serta seni patung Asmat kepada dunia luar. Selain itu, ia berharap rekan-rekan dapat memberikan donasi secukupnya bagi kepentingan suku Asmat.
Tak hanya sebatas berkunjung dan tekesima oleh pesona dunia baru, mereka bahkan tergabung dalam sebuah perkumpulan yang di beri nama Sago Worms Society (Masyarakat Ulat Sagu). Kegiatan mereka khususnya mempromosikan keseniaan Asmat khususnya di sepuran Minnesota. Salah satu event yang mereka gelar adalah Malam Gala dan Lelang Seni Asmat pada 20 juni 2008 lalu.
Komputer dan Pesawat Terbang
Kecintaan gallus pada Asmat berawal saat ia ditugaskan sebagai imam di daerah Asmat. Peristiwa ini berlangsung pada tahun 1967, saat ia masih berusia 28 tahun. Ia sendiri lahir di Minnesota, AS, pada tanggal 19 Februari 1939, dari pasangan petani George dan julia gallus. Ia berasal dari keluarga besar, karena merupakan anak keemapat dari 12 bersaudara.
Yang istimewa, penugasan ke Asmat itu dilakukan atas permintaan sendiri. Selama 24 tahun berikutnya, gallus menghabiskan hari-harinya di daerah yang tersembunyi di antara rimba raya Papua itu. Salah satu hal penting yang dihasilkannya selama berada di sana adalah membenahi administrasi keuskupan Agast/Asmat dengan sistem komputerisasi.
Ini terjadi pada tahum 1982. Jauh sebelum masyarakat indonesia mengenal komputer. “Waktu itu komputer belum terlalu umum dan tidak ada suku cadang di Asmat. Saya mengerjakan sendiri dengan bantuan buku-buku,” kenangnya.
Ketika itu daerah Asmat masih cukup terisolasi, karena hanya dapat di capai dari laut, sungai, dan udara. Tak ada jalan darat ke wilayah-wilayah sekelilinya. Peran vital oleh karena itu dilakukan maskapai penerbangan AMA (Associated Mission Aviation), karena menjadi satu-satunya layanan penerbangan dari dan ke Asmat (maskapai nasional indonesia, merpati, baru membuka rute ke Asmat pada tahun 1980-an).
AMA dibentuk memang untuk mendukung kegiatan Gereja di bidang tranportasi. Di Papua, AMA dimiliki oleh empat keuskupan, yaitu Agast/Asmat, Jayapura, Monokwari, Sorong, dan Merauke. Pada tahun 1970, gallus ditunjuk sebagai sekertaris AMA, dengan tugas sebagai Pastor poroki di Ewer, sekaligus penanggung jawab bandara Ewer/Agast.
Ia masih dipercaya sebagai perwakilan AMA sepulangnya ke AS pada tahun 1990. Pembelian Spare-part dan bahkan pesawat baru dilakukan melalui tangannya. Stastusnya sebagai warga AS dan berdomisili pula di tanah kelahiran sendiri amat memudahkan transaksi pembelian. Adapun pesawat terakhir yang dibelinya mewakili AMA adalah sebuah pesawat Cessna 185.
Perhatian Terhadap Suku “Terbelakang”
Terlepas dari tugas-tugasnya di bidang keagamaan dan penerbangan, ia memang memiliki perhatian yang tinggi pada suku Asmat. Yang ia paling kagumi dari keseniaan Asmat adalah spiritualitas yang terkandung di dalamnya. Dan ini amat menarik baginya, yang pernah enempuh studi antropologi di Universitas Katolik Washington DC tahun 1966/67.
Ia sangat terusik oleh pemandagan dunia luar yang kerap menganggap Asmat sebagai suku terbelakang dan oleh karena itu perlu dimanusiakan. Lebih parah lagi, aparat pemerintah dan tentara Indonesia tak membuat semuanya jadi lebih baik. Ia kerap geram pada perlakuan sewenang-wenang aparat pemerintah dan militer pada warga Asmat.
“Tentara-pada umumnya pendatang pada waktu itu amat gampang memukul penduduk atau memaksa orang untuk menebangi pohon-pohon dengan bayaran atau malah tanpa bayaran sama sekali!” ujurnya. Barangkali karena melihat perlakuan yang tidak adil itulah, timbul niat kuat di hatinya untuk mengangakt derajat suku Asmat.
Penderitaan suku Asmat mencapai punjaknya ketika Pemda setempat menuduh rumah adat Asmat sebagai sumber kejahatan, termasuk penyebab tradisi perang dan pemenggalan kepala. Gara-gara tundingan ini, banyak rumah adat Asmat di bakar. Kebiasaan mengukir yang di lakukan warga Asmat pun dihentikan.
Insiden tragis ini berlangsung antara tahun 1963/64, sebelum gallus ditugaskan ke sana. Budaya dan keseniaan Asmat oun nyaris mengalami kepunahan, untung kondisi demikian tak berkelanjutan. Salah satunya berkat dukungan gallus, benda-benda seni dari Asmat kini kembali mengemuka dan bahkan dikenal di seluruh Dunia.
Kini pastor gallus bertugas di kalangan suku indian di Onamia, Minnesota. Pada pandangannya, nasib suku Asmat mirip dengan yang dialami para indian di Amerika. Mereka dianggap tak beradab sehingga harus dimanusiakan. Secara budaya, meraka harus turun temurun dan harus megadopsi agama dan budaya kulit putih.
Hal ini memang terjadi di banyak tempat. Suku atau kelompok yang dominan kerap memaksa kelompok lain agar sama dengan mereka menganggap bahwa hanya keyakinan dan budaya merekalah yang paling benar dan harus diikuti.
Ia memang aktif pula dalam penegakan hak asasi manusia. Di wilayahnya, Miller Lac, Minnesota, pastor gallus duduk sebagai ketua Humman Rights Commision.
Contoh Teladan Gereja
Manusia hanya bisa utuh dengan budaya. Jika budaya itu dicabut dan lantas diganti, maka manusia tak lengkap lagi sebagai manusia. Bagi seorang pastor gallus, budaya apa pun seperti Asmat atau indian pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Pertemuan dengan budaya-budaya lain akan memperkaya karena saling melengkapi. Oleh karena itu, tak ada budaya apa pun yang bisa dengan semena-mena dihapus dari permukaan bumi.
Menurut pendapatnya, komunitas Gereja harus memberi teladan bahwa berbagai suku dan budaya dapat hidup harmonis dan saling mendukung. Ia yakin, gambaran Nabi Yesaya bahwa singa, serigala, kambing, dan anak manusia dapat hidup dengan damai (Yesaya 11:6-9) dapat terjadi di kalangan antarasuku yang berbeda-beda bila ada rasa hormat dan keterbukaan satu sama lain.
Sumber : Buku “Di bakar semangat pelayanan” oleh Heri kartono OSC